Sejarah dan Dampak Tragedi Pengeboman Nagasaki dan Hiroshima bagi Jepang
Sejarah. Peristiwa Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki adalah sejarah kelam peperangan yang terjadi di dunia ini. Serangan bom atom meluluh lantakkan negeri Jepang dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban dikedua kota tersebut. Tidak hanya itu efek yang ditimbulkan setelah serangan itu adalah penderitaan berkepanjangan dari generasi ke generasi akibat radiasi kimia yang diturunkan lewat genetika. Bom Atom yang jatuh di Kota Hiroshima dan Nagashaki terjadi pada 6 Agustus 1945, yang terjadi saat Perang Dunia II dimana dilakukan oleh pihak sekutu (Amerika, dkk) dengan alasan untuk membungkam angkatan perang kekaisaran Jepang yang terkenal sangat heroik, pantang menyerah dan loyal kepada kaisar. Bom atom ini membunuh sebanyak 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki pada akhir tahun 1945.
Enam hari setelah dijatuhkannya bom atom di Nagasaki, pada 15 Agustus, Jepang mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, menandatangani instrumen menyerah pada tanggal 2 September, yang secara resmi mengakhiri Perang Pasifik dan Perang Dunia II. (Jerman sudah menandatangani menyerah pada tanggal 7 Mei 1945, mengakhiri teater Eropa.) Pengeboman ini membuat Jepang sesudah perang mengadopsi Three Non-Nuclear Principles, melarang negara itu memiliki senjata nuklir. Bom Atom yang dijatuhkan ke Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan yang dijatuhkan di Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Mengapa Hiroshima dipilih sebagai target pertama dari serangan bom atom AS ini? Jelas sekali Hiroshima dipilih sebagai target pertama serangan berdasarkan pertimbangan matang militer AS kala itu.
Selama Perang Dunia kedua, Hiroshima jarang sekali diterjang oleh aksi pengeboman. Namun status kota tersebut sebagai markas militer Jepang, menjadikannya sasaran empuk dari para lawannya. Hiroshima juga dikenal sebagai kota pelabuhan yang besar di Jepang. Alasan inilah yang membuat kota ini sebagai sasaran strategis bom atom buatan Amerika. Sementara alasan Nagasaki sendiri sebenarnya bukan target utama dari AS. Kokura merupakan target potensial yang dipilih bersama Kyoto dan Niigata. Nagasaki dipilih sebagai pengganti Kyoto sebagai target potensial. Kyoto sendiri dipilih karena alasan religi yang mendukung pola militer Jepang. Sementara target potensial ketiga Niigata, dicoret dari daftar karena jaraknya terlalu jauh dari Pangkalan Militer Filipina, tempat pesawat pengebom lepas landas menuju Jepang. Namun pada akhirnya pilihan target jatuh pada Nagasaki, karena Militer AS juga mencoret Kokura dari daftar target mereka.
Nagasaki adalah kota yang industri perkapalannya bisa dikatakan maju. Namun kota ini bukanlah kota favorit untuk diserang karena sudah dibom sebanyak lima kali selama 12 bulan terakhir sebelum serangan bom atom melandanya. Alhasil, hanya Hiroshima dan Nagasaki yang dihancurkan oleh bom atom AS. Bom bom tersebut dijatuhkan dari sebuah pesawat B-29 Flying Superfortress bernama Enola Gay (nama yang aneh) yang dipiloti oleh Letkol. Paul W. Tibbets, dari sekitar ketinggian 9.450 m (31.000 kaki). Senjata ini meledak pada pukul 08.15 pagi (waktu Jepang) ketika dia mencapai ketinggian 550 meter. Untuk menjatuhkan bom ini pesawat memang terbang cukup tinggi dan menggunakan google khusus (pelindung mata khusus) anti radiasi, dalam sebuah dokumenter yang saya lihat, para pengebom memiliki tekanan (pressure) jiwa yang sangat besar karena akan menjatuhkan bom dahsyat itu ke tengah tengah pemukiman penduduk, namun mereka tetap melakukan nya demi tugas bangsa. ada sebuah kejadian yang diabadikan disana saat beberapa saat bom dijatuhkan.
“Satu cahaya yang terang memenuhi pesawat,” begitu tulis Tebbits. “Kami memutar pesawat kembali untuk melihat Hiroshima. Kota tersebut tersembunyi di balik awan yang mengerikan itu. Mendidih, mengembang berbentuk jamur.” Setelah itu, beberapa saat tidak ada yang bicara. Namun berikutnya, semua orang bicara. “Lihat itu! Lihat itu ! Lihat itu…..! ” seru kopilot Robert Lewis sambil memukul bahu Tibbets. Lewis mengatakan ia bisa merasakan pembelahan atom proses yang terjadi ketika bom atom meledak. Rasanya seperti timah hitam. Ia lalu berbalik untuk menulis dalam catatannya. “Tuhan,” tanyanya pada diri sendiri, “Apa yang telah kami lakukan?”
Dampak dan Pengaruh Persitiwa Nagasaki dan Hiroshima Bagi Jepang
Ketika Pater Klaus Luhmer pada tanggal 6 Agustus 1945 berdoa di taman biara Jesuit di Hiroshima, ia tiba-tiba mendengar sebuah ledakan.
"Pukul 8.14 saya mendengar ada ledakan. Kemudian muncul sesuatu yang tidak saya pahami. Nampak sesuatu yang lebih silau daripada matahari. Seperti setengah bulatan. Instink saya mengatakan, bahwa yang meledak itu adalah bom perusak yang meledak di balik bukit.“
Ternyata yang dilihat Pater Luhmer pagi itu bukan bom perusak biasa. Akan tetapi, ledakan bom atom yang terjadi di pusat kota Hiroshima. Lokasi kejadian berjarak sekitar empat kilometer dari gedung biara. Pater Luhmer segera mencari perlindungan di taman. Lalu ia bersembunyi di ruangan bawah tanah. Ia selamat.
"Ketika saya melihat kilauan itu, tiba-tiba muncul gelombang yang amat panas. Rumah kami bergetar. Hampir semua genteng jatuh seperti hujan dan jendela pecah. Di sekeliling rumah puing-puing bertaburan."
Tidak lama kemudian stasiun berita BBC menyiarkan bahwa Amerika Serikat menjatuhkan bom atom terhadap kota Hiroshima. Warga Hiroshima tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Pater Luhmer naik ke atas bukit di belakang gedung biara. Dari sana ia melihat kota Hiroshima terbakar. "Saat itu langitnya begitu terang. Tiba-tiba, waktu saya berdiri di atas bukit, awan hitam nampak di atas langit dan hujan mulai turun. Hujannya hitam.“
Pater Klaus Luhmer
Setelah Pater Luhmer kembali ke biara, sejumlah korban berhasil keluar dari pusat kota. Kulit mereka terkelupas, namun masih menyangkut seperti lap yang lebar di tulangnya. Pakaian mereka seakan-akan meleleh menyatu dengan kulitnya. Para pastur mengubah meja makannya menjadi meja periksa dan mulai merawat korban terluka. Beberapa pastur pergi ke kota. Mereka dihampiri sekelompok korban terluka. Api berkobar di mana-mana. Rumah dan toko roboh. Korban tewas dan terluka terperangkap di antara puing-puing dan reruntuhan bangunan.
"Saya melihat tigapuluh atau empatpuluh tentara berseragam lengkap yang terluka bakar. Mereka tidak dapat berteriak lagi. Mereka hanya merintih, "air, air“. Kebetulan ada sumur air, sehingga kami dapat memberikan mereka air minum. Tetapi, jumlah kami tidak cukup untuk membantu mereka. Saat itu dibutuhkan ratusan tangan untuk mengangkut korban."
Selama dua hari, para pastur Jesuit membantu para korban di kota. Kemudian militer Jepang mengkerahkan pasukannya. Jalan masuk ke kota ditutup rapat-rapat. "Tentara diinstruksikan untuk mengeluarkan mayat dari reruntuhan, lalu ditumpuk dan dibakar. Tanggal 8 Agustus militer membersihkan kota dari mayat-mayat yang mulai membusuk."
Dalam keadaan lelah para pastur kembali ke biara. Namun, setiba di rumah, tugas baru menanti mereka. Seorang anak perempuan yang belajar piano dengan Pater Luhmer meminta pertolongannya. Ayahnya meninggal. "Kata anak itu, mohon bantu kami untuk membuang mayat-mayat."
Pater Luhmer mulai mengumpulkan jerami dan kayu kering untuk membakar mayat. "Tercium bau busuk yang tidak terlupakan selama hidup saya. Dan saya tidak dapat menggambarkan situasinya ketika mayat-mayat yang sudah busuk itu dibakar. Orang-orang yang pernah mangalami situasi seperti itu, akan menjadi lebih keras. Sungguh menakjubkan bagaimana orang-orang itu, setelah mengalami bencana, memiliki semangat untuk bangun kembali. Bangun, bangun dan terus bangun."
Paul Tibbet, Pilot pembawa Bom Nagasaki dan Hiroshima
PADA 6 dan 9 Agustus 1945, bom atom meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Bom atom itu dibawa oleh pesawat B-29. "B-san alias Tuan-B, begitulah orang Jepang menyebut sekaligus menghargai dengan terpaksa pesawat pengebom B-29 yang terkenal saat itu," tulis John Hersey dalam Hiroshima, Ketika Bom Dijatuhkan. Dan pilot yang menjatuhan bom atom “Little Boy” di Hiroshima dari B-29 Enola Gay –nama ibunya– adalah Paul Tibbets.
Ayah Paul tidak pernah mendukungnya menjadi pilot karena membenci pesawat dan sepeda motor. Ketika Paul bilang ingin pergi menerbangkan pesawat, ayahnya mengatakan, “Saya sudah mengirimu sekolah, membelikanmu mobil, memberimu uang untuk bersenang-senang dengan perempuan. Jika kau ingin bunuh diri, silakan. Saya tidak peduli,” kata Paul menirukan ayahnya Paul Warfield Tibbets Sr, dalam wawancara dengan The Guardian, 6 Agustus 2002. Sedangkan ibunya, Enola Gay Haggard, hanya berkata, “Paul, jika kamu ingin menerbangkan pesawat, kamu akan baik-baik saja.”
Paul Tibbets lahir di Quincy, Illinois, pada 23 Februari 1915. Ayahnya ingin Paul menjadi dokter. Tapi, dia lebih tertarik di militer. Lulus Akademi Militer Barat, sekolah persiapan militer swasta, di Alton, Illinois, yang didirikan pada 1879 dan ditutup pada 1971; Paul melanjutkan ke Universitas Florida di Gainesville. Kemudian dia terpikir untuk menjadi dokter bedah dan masuk Universitas Cincinnati di Ohio selama satu tahun setengah, sebelum akhirnya berubah pikiran lagi, dan bergabung dengan korps Angkatan Udara AS. Selama Perang Dunia II, Paul menjalankan misi-misi penerbangan penting sampai dia diganjar penghargaan sebagai penerbang terbaik Angkatan Udara AS.
Pada September 1944, setelah Paul mencoba menerbangkan B-29, seorang pria menghampirinya. Dia menyampaikan pesan, bahwa Jenderal Uzal Ent, komandan Angkatan Udara Ke-2 berpangkalan di Colorado, menunggunya pukul sembilan pagi.
Di kantor Jenderal Uzal Ent, Paul telah ditunggu beberapa orang, di antaranya Kapten Angkatan Laut AS, William Parsons, kelak bersamanya terbang ke Hiroshima, dan Dr. Norman Ramsey, profesor fisika nuklir dari Universitas Columbia, yang menjelaskan mengenai Proyek Manhattan yang mengembangkan bom atom.
Sebelum mengemban tugas menjatuhkan bom atom, Paul terlebih dulu belajar mengenai seluk beluk bom yang dibawanya. Dr Oppenheimmer menerangkan cara menghindar dari gelombang ledakan atom dan Dr Norman Ramsey menjelaskan mengenai kekuatan bom atom tersebut yang mencapai 20.000 ton TNT. Uji coba manuver pesawat untuk menghindari gelombang atom pun beberapa kali dilakukan. Dia memilih Pangkalan Udara Wendover di Utah sebagai pangkalan latihan. Hingga hari itu pun tiba.
Basis pangkalan rencana pengeboman berada di Pulau Tinian di Kepulauan Mariana Utara. Pulau ini awalnya berada di bawah kuasa Jepang, kemudian berhasil direbut Sekutu. Di pulau ini telah dibangun dua pangkalan yaitu Utara dan Barat. Pangkalan Utara dijadikan homebase B-29. Pada 26 Juli 1945, kedua bom atom Fat-Man dan Little Boy dibawa ke pulau ini menggunakan USS Indianapolis. Berbagai keterangan mengenai daerah sasaran diberikan, seperti keadaan cuaca, “hari keenam Agustus adalah hari paling tepat untuk terbang di atas pulau Honshu,” kata Paul.
Pesawat B-29 Enola Gay membawa bom atom Little Boy dengan panjang 3 meter, lebar 71 cm, dan berat 4000 kg. Uraniumnya dipasok dari pabrik raksasa di Oak Ridge, Tennessee selama Proyek Manhattan. Awak B-29 Enola Gay terdiri dari: Paul Tibbets (pilot), Robert A. Lewis (kopilot), Ted Van Kirk (navigator), William S Parsons (yang mengaktifkan bom sebelum dijatuhkan), Thomas W. Frebee (juru bidik/pelepas bom), Bob Caron (defender belakang pesawat bagian ekor untuk menjaga kemungkinan serangan Jepang). Tepat tengah malam pada hari keenam Agustus, mereka lepas landas.
Pada pukul 8.15 waktu Jepang, B-29 telah sampai diatas langit Hiroshima. Dari ketinggian hampir 10 ribu meter mereka menghitung. Little-Boy dijatuhkan. Dalam satu mikro-detik, kota Hiroshima tidak ada. Ratusan ribu orang meninggal seketika, sisanya terluka seumur hidup, dan hanya sedikit yang bertahan.
Manuver penyelamatan dari gelombang ledakan bom atom pun dilakukan. “Satu cahaya yang terang memenuhi pesawat dan kami memutar pesawat kembali untuk melihat Hiroshima. Kota tersebut tersembunyi di balik awan yang mengerikan itu,” kenang Paul. Sekembalinya ke pangkalan udara di Pulau Tinian pukul 3 sore, dia disambut oleh Jendral Carl Spaatz dan memberi medali Distinguished Service Cross dan anggota awak lain mendapat Air Medals.
Tak cukup sekali, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Hasilnya sangat mengguncangkan kekaisaran Jepang dan menyudahi ekspansinya pada Perang Dunia II.
Pasca Perang Dunia II, kehidupan keluarga Paul diambang kehancuran. Dia bercerai dari istrinya, Lucy Wingate pada 1955. Dan menikah lagi dengan wanita Prancis, Andrea Quattrehomme. Pada 1959, dia naik pangkat menjadi Brigadir Jenderal dan pensiun pada 31 Agustus 1966. Paul meninggal pada 1 November 2007 di usia 92 tahun.
Rakyat Jepang mengingat peristiwa bom atom Hiroshima dan Nagasaki sebagai kejadian paling menyedihkan. Tiap tahun mereka memperingati dan berdoa untuk korban meninggal, yang menderita seumur hidup, atau yang kehilangan anggota keluarga. Hingga kini, tindakan ini masih dipertanyakan. Dunia menggugat. Amerika sendiri berdalih bom atom telah menyelamatkan nyawa-nyawa yang akan lebih banyak hilang jika perang terus dilanjutkan. Seperti apa yang diyakini Paul dan awak lainnya: “Ya, kita akan membunuh banyak orang, tapi kita akan menyelamatkan banyak nyawa. Kami tidak perlu menyerang (Jepang).”
Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki
Serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki adalah serangan nuklir selama Perang Dunia II terhadap kekaisaran Jepang oleh Amerika Serikat atas perintah Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman. Setelah enam bulan pengeboman 67 kota di Jepang lainnya, senjata nuklir “Little Boy” dijatuhkan di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, diikuti dengan pada tanggal 9 Agustus 1945, dijatuhkan bom nuklir “Fat Man” di atas Nagasaki. Kedua tanggal tersebut adalah satu-satunya serangan nuklir yang pernah terjadi.
Bom atom ini membunuh sebanyak 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki pada akhir tahun 1945. Sejak itu, ribuan telah tewas akibat luka atau sakit yang berhubungan dengan radiasi yang dikeluarkan oleh bom. Pada kedua kota, mayoritas yang tewas adalah penduduk.
Enam hari setelah dijatuhkannya bom atom di Nagasaki, pada 15 Agustus, Jepang mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, menandatangani instrumen menyerah pada tanggal 2 September, yang secara resmi mengakhiri Perang Pasifik dan Perang Dunia II. (Jerman sudah menandatangani menyerah pada tanggal 7 Mei 1945, mengakhiri teater Eropa.) Pengeboman ini membuat Jepang sesudah perang mengadopsi Three Non-Nuclear Principles, melarang negara itu memiliki senjata nuklir.
Sejarah mencatat, inilah pemusnahan massal pertama. Dan, inilah pula ikon perang massa datang jika lomba senjata nuklir tak juga dihentikan. Pemahaman terhadap benda terkecil namun mematikan ini dimulai lewat penelitian Albert Einstein (1905), Ernst Rutherford (1911), dan Niels Bohr (1913). Sementara sebagai bom, dunia mengenalnya lewat proyek berkode Manhattan Project Atas perintah Presiders AS Frank D. Roosevelt, proyek rahasia senilai dua miliar dollar ini sengaja diupayakan untuk mengakhiri Perang Dunia II sekaligus Perang Pasifik.
Jam menunjukkan tepat pukul pukul 08.15, tanggal 6 Agustus 1945. Letkol Paul Warfield Tibbets Jr (30) duduk di kursi pilot pesawat pengebom B-29. Terbang melintasi sebuah kota insutri yang cukup sibuk berhias dengan cerobong asap.
Lalu dalam sekejap…
Bom bom atom atau yang juga disebut dengan ‘the little boy’ muntah dari perut pesawat yang dikemudikannya, tepat di atas kota Hiroshima. Sebuah kota berjarak 43 mil arah barat daya Tokyo. Dan cendawan raksasa kematian pun terbentuk.
Sontak penduduk kota itu tidak bisa menyelamatkan diri. Mimpi buruk yang selama ini hanya menjadi isu, ternyata menjadi kenyataan. Lawan mereka, Amerika, telah berhasil membuat bom yang mematikan secara massal. Benar-benar di luar dugaan, dalam waktu sekejap, 140 ribu nyawa meninggal begitu saja, sia-sia.
Sekalipun keputusan mengebom atom Hiroshima dan Nagasaki (9 Agustus 1945) ada di tangan Gedung Putih, Tibbets sang pilot juga ikut menentukan. Posisi dirinya saat itu ternyata bukan hanya pilot.
Namun dirinya ternyata ikut juga dalam proses meredesain dan mencoba pengebom B-29 Enola Gay. Nama Enola Gay ternyata dari nama ibu sang pilot. Enola Gay inilah yang membawa bom seberat 9.000 pon itu. Tibbets ternyata juga ikut melatih tim yang akan membawa dan menjatuhkan benda pencabut nyawa manusia secara massal itu. Namun ketika ditanya bagaimana bisa dia melakukan pembunuhan massal seperti itu, Tibbet hanya menjawab pelan
0 Comments