Sejarah Lengkap Presiden Jendral Soeharto dan Penguasan Orde Baru
Sejarah. Soeharto dikenal sebaga satu-satunya Presiden di Indonesia yang memiliki masa jabatan terlama yaitu sekitar 32 Tahun. Dikenal dengan sebutan "Bapak Pembangunan" dan merupakan Presiden Kedua Indonesia setelah Soekarno, Soeharto di bawah pemerintahannya sukses mengantarkan Indonesia menjadi negara Swasembada dimana sektor dibidang pertanian amat berkembang dengan pesatnya melalui Program Rapelitanya. Tulisan kali ini akan mengulas tentang profil atau biografi presiden Soeharto. Mantan Presiden Indonesia kedua ini dilahirkan di Kemusuk, Yogyakarta pada tanggal 8 Juni 1921 dari rahim seorang ibu yang bernama Sukirah dan ayah beliau yang merupakan seorang pembantu lurah dalam bidang pengairan sawah dan juga sekaligus seorang petani yang bernama Kertosudiro. Ketika berumur delapan tahun Soeharto mulai bersekolah tetapi ia sering berpindah-pindah sekolah. Awalnya ia sekolah di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean kemudian ia pindah ke SD Pedes dikarenakan keluarganya pindah ke Kemusuk, Kidul. Setelah itu kemudian ayahnya Kertosudiro memindahkan Soeharto ke Wuryantoro. Beliau kemudian dititipkn dan tinggal bersama Prawirohardjo seorang mantri Tani yang menikah dengan adik perempuan Soeharto.
Ditahun 1941 tepatnya di Sekolah Bintara, Gombong di Jawa Tengah, Soeharto terpilih sebagai Prajurit Telatan, sejak kecil ia memang bercita-cita menjadi seorang tentara atau militer. kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 setelah Indonesia merdeka, Soeharto kemudian resmi menjadi anggota TNI. Setelah itu kemudian Soeharto menikahi Siti Hartinah atau Ibu Tien yang merupakan anak seorang Mangkunegaran pada tanggal 27 Desember 1947 dimana usia Soeharto etika itu 26 tahun dan Siti Hartinah atau Ibu Tien berusia 24 tahun. Dari pernikahannya kemudian ia dikarunia enam orang anak yaitu Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Jalan panjang dan berliku dilalui Soeharto ketika merintis karier militer dan juga karier politiknya. Dalam bidang militer Soeharto memulainya dengan pangkat sersan tentara KNIL, dari situ ia kemudian menjadi Komandan PETA pada zaman penjajahan Jepang, setelah itu ia menjabat sebagai komandan resimen berpangkat mayor kemudian menjabat komandan batalyon dengan pangkat Letnan Kolonel.
Sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peristiwa yang dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949, itu merupakan peristiwa yang menjadi catatan penting dalam sejarah bangsa ketika resmi merdeka dari penjajahan bangsa Belanda selama tiga setengah abad. Banyak versi mengatakan bahwa Peranan Soeharto ketika merebut Yogyakarta yang waktu itu sebagai Ibukota Republik Indonesia dalam Serangan Umum 1 Maret tidak bisa dipisahkan. Tujuan dari serangan umum 1 Maret adalah menunjukan pada dunia internasional tentang eksistensi dari TNI (Tentara Nasional Indonesia) ketika itu dalam membela Bangsa Indonesia. Dalam kepemimpinannya, Soeharto berhasil merebut kota Yogyakarta dari cengkraman penjajah Belanda pada waktu itu. Pada waktu itu beliau juga menjadi pengawal dari Panglima Besar Jendral Sudirman. Dalam operasi pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda ketika itu beliau yang menjadi panglima Mandala yang dipusatkan di Makassar.
Ketika peristiwa G-30-S/PKI meletus pada tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto kemudian bergerak cepat mengambil alih kendali pimpinan Angkatan Darat ketika itu dan kemudian mengeluarkan perintah yang cepat untuk mengatur dan mengendalikan keadaan negara yang kacau akibat dari kudeta oelh PKI. Setelah peristiwa G-30-S/PKI, Soeharto kemudian menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat menggantikan Jendral Ahmad Yani yang gugur di tangan PKI. Selain sebagai Panglima Angkatan Darat, Soeharto juga menjabat sebagai Pangkopkamtib yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno pada waktu itu. Puncak karier Soeharto ketika ia menerima Surat Perintah Sebelas Maret atau yang dikenal sebagai "Supersemar" oelh Presiden Soekarno pada bulan maret 1966 dimana tugasnya adalah mengendalikan keamanan dan juga ketertiban negara yang kacau setelah kudeta yang dilakukan oleh PKI dan mengamalkan ajaran Besar Revolusi Bung Karno.
Setelah peristiwa G-30-S/PKI keadaan politik dan juga pemerintahan Indonesia makin memburuk, kemudian pada bulan maret 1967 dalam sidang istimewa MPRS yang kemudian menunjuk Soeharto sebagai Presiden Kedua Republik Indonesia yang menggantikan Presiden Soekarno, dimana pengukuhan dilakukan pada Maret 1968. Masa pemerintahan presiden Soeharto dikenal dengan masa Orde Baru dimana kebijakan politik baik dalam dan luar negeri diubah oleh Presiden Soeharto. Salah satunya adalah kembalinya Indonesia sebagai anggota PBB (Perserikatan Bangsa Bansa) pada tanggal 28 September 1966 setelah sebelumnya pada masa Soekarno, Indonesia keluar sebagai anggota PBB.
Soeharto Menjadi Presiden Indonesia Kedua
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Pengucilan politik dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru bahkan sebagian yang terkait atau masih pendukung dari Partai PKI dihabisi dengan cara dieksekusi massal di hutan oleh militer pada waktu itu. Program pemerintah Soeharto diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Dan pemerintahan Soeharto berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945.
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara. Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan. Dari keberhasilannya inilah sehingga Presiden Soeharto kemudian disebut sebagai "Bapak Pembangunan".
Titik kejatuhan Soeharto, ketika pada tahun 1998 dimana masa tersebut merupakan masa kelam bagi Presiden Soeharto dan masuknya masa reformasi bagi Indonesia, Dengan besarnya demonstrasi yang dilakukan oleh Mahasiswa serta rakyat yang tidak puas akan kepemimpinan Soeharto serta makin tidak terkendalinya ekonomi serta stabilitas politik Indonesia maka pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB Pak Harto membacakan pidato "pernyataan berhenti sebagai presiden RI” setelah runtuhnya dukungan untuk dirinya. Soeharto telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun. Sebelum dia mundur, Indonesia mengalami krisis politik
dan ekonomi dalam 6 sampai 12 bulan sebelumnya. BJ Habibie melanjutkan setidaknya setahun dari sisa masa kepresidenannya sebelum kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1999. Kejatuhan Suharto juga menandai akhir masa Orde Baru, suatu rezim yang berkuasa sejak tahun 1968 atau selama 32 Tahun.
Wafatnya Presiden Soeharto
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.Kemudian sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak tangis warga pecah begitu rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekira pukul 14.55, Minggu (27/1).
Sementara itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Jasa Jasa Soeharto Sebagai Presiden dan Kontroversinya
Jika direnungkah banyak jasa-jasa besar yang dilakukan Soeharto untuk pembangunan dan perkembangan Indonesia dimata dunia Internasional, sebagan rakyat yang pernah hidup di zaman Presiden Soeharto menganggap zaman Soeharto merupakan zaman keemasan ndonesia, karena harga-harga kebutuhan pokok yang murah dimasa itu yang berbanding terbalik dengan zaman sekarang ini, pertumbuhan ekonomi yang stabil, Presiden Soeharto berhasil merubah wajah Indonesia yang awalnya menjadi negara pengimpor beras menjadi negara swasembada beras dan turut mensejahterahkan petani. Sektor pembangunan dimasa Presiden Soeharto dianggap paling maju melalui Repelita I sampai Repelita VI.Keamanan dan kestabilan negara yang terjamin serta menciptakan kesadaran nasionalisme yang tinggi pada masanya. Di bidang kesehatan, upaya meningkatkan kualitas bayi dan masa depan generasi ini dilakukan melalui program kesehatan di posyandu dan KB, sebuah upaya yang mengintegrasikan antara program pemerintah dengan kemandirian masyarakat. Di jamannya, program ini memang sangat populer dan berhasil. Banyak ibu berhasil dan peduli atas kebutuhan balita mereka di saat paling penting dalam periode pertumbuhannya. itulah sekelumit jasa-jasa atau prestasi dari presiden Soeharto meskipun disamping jasa-jasanya tersebut banyak juga kegagalan di pemerintahannya seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di masanya, pembangunan yang tidak merata antara pusat dan daerah sehingga memunculkan kecemburuan dari daerah seperti Papua.
Dari banyaknya jasa presiden Soeharto tersebut sehingga banyyak yang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional Indonesia. Terlepas dari sejumlah pihak yang masih mempermasalahkan sejumlah kasus hukum Soeharto, fakta di dalam sejarah Indonesia menunjukkan bahwa Soeharto memiliki jasa besar kepada Indonesia. “Perjuangan Soeharto untuk Indonesia yang tercatat dalam buku sejarah bangsa ini, antara lain, pada masa revolusi fisik antara 1945 hingga 1949, pascarevolusi fisik antara 1962 hingga 1967 dan masa kepemimpinannya sebagai presiden
Sosok Soeharto masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Rakyat kecil mengingatnya sebagai pahlawan yang menyediakan bensin murah dan beras yang bisa dijangkau. Mereka yang ketika itu tak bersentuhan dengan politik dan pergerakan, akan langsung mengangguk setuju jika ditanya zaman Soeharto lebih enak. Polemik soal gelar pahlawan bagi Soeharto pun masih penuh perdebatan. Sebagian setuju, sebagian menolak mentah-mentah. Sebagian menganggap Soeharto pahlawan pembangunan dan penyelamat Pancasila. Sebagian lagi menganggap Soeharto berlumuran darah atas berbagai aksi pembantaian selama peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan seterusnya. Itulah artikel mengenai biografi presiden soeharto semoga bisa menjadi referensi dan juga sebagai bahan pelajaran bagi pembaca sekalian.
Kisah Rusuh Antara Soeharto dan Soekarno
TINDAKAN Soeharto menyelewengkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sangat menyakiti perasaan Bung Karno. Sejumlah petinggi militer yang masih setia pada Sukarno ketika itu pun merasa geram. Mereka meminta agar Sukarno bertindak tegas dengan memukul Soeharto dan pasukannya. Tetapi Sukarno menolak.
Sukarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai melibatkan tentara. Perang saudara, menurut Sukarno, adalah hal yang ditunggu-tunggu pihak asing—kaum kolonial yang mengincar Indonesia–sejak lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan menyelamatkan fasilitas negara mereka, mulai dari para diplomat kedutaanbesar sampai perusahaan-perusahaan asing milik mereka.
Kesaksian mengenai keengganan Sukarno menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi manuver Soeharto disampaikan salah seorang menteri Kabinet Dwikora, Muhammad Achadi. Saya bertemu Achadi, mantan menteri transmigrasi dan rektor Universitas Bung Karno itu dua pekan lalu di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Achadi bercerita dengan lancar kepada saya dan beberapa teman. Air putih dan pisang rebus menemani pembicaraan kami sore itu.
Komandan Korps Komando (KKO) Letjen Hartono termasuk salah seorang petinggi militer yang menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Sukarno. KKO sejak lama memang dikenal sebagai barisan pendukung utama Soekarno. Kalimat Hartono: “hitam kata Bung Karno, hitam kata KKo” yang populer di masa-masa itu masih sering terdengar hingga kini.
Suatu hari di pertengahan Maret 1966, Hartono yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut itu datang ke Istana Merdeka menemui Bung Karno. Ketika itu Achadi sedang memberikan laporan pada Sukarno tentang penahanan beberapa menteri yang dilakukan oleh pasukan yang loyal pada Soeharto.
Mendengar laporan itu, menurut Achadi, Bung Karno berkata (kira-kira), “Kemarin sore Harto datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para menteri yang menurut informasi akan didemo oleh mahasiswa.”
“Tetapi itu bukan pengawalan,” kata Achadi. Untuk membuktikan laporannya, Achadi memerintahkan ajudannya menghubungi menteri penerangan Achmadi. Seperti Achadi, Achmadi juga duduk di Tim Epilog yang bertugas menghentikan ekses buruk pascapembunuhan enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965. Soeharto juga berada di dalam tim itu.
Tetapi setelah beberapa kali dicoba, Achmadi tidak dapat dihubungi. Tidak jelas dimana keberadaannya.
Saat itulah Hartono minta izin untuk menghadapi Soeharto dan pasukannya. Tetapi Bung Karno menggelengkan kepala, melarang.
Padahal masih kata Achadi, selain KKO, Panglima Kodam Jaya Amir Machmud, Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adji, dan beberapa panglima kodam lainnya juga bersedia menghadapi Soeharto.
“Bung Karno tetap menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak mau terjadi pertumpahan darah, dan perang saudara.”
Kalau begitu apa yang harus kami lakukan, tanya Achadi dan Hartono.
Bung Karno memerintahkan Hartono untuk menghalang-halangi upaya Soeharto agar jangan sampai berkembang lebih jauh. “Hanya itu tugasnya, Hartono diminta menjabarkan sendiri. Yang jelas jangan sampai ada perang saudara,” kata Achadi.
Adapun Achadi yang tak bisa kembali ke rumahnya di kawasan Pancoran yang sedang diduduki pasukan Soeharto diperintahkan Bung Karno bermalam di guest house Istana. Bung Karno juga mengatakan akan menggelar rapat kabinet keesokan harinya. Dalam rapat yang juga akan dihadiri Soeharto itu, Achadi diminta untuk menyampaikan laporan tentang penahanan beberapa menteri.
“Kamu berani bicara di depan Soeharto,” tanya Bung Karno pada Achadi.
“Siap,” jawab Achadi.
Suharto Dipecat Secara Tidak Hormat Oleh Jenderal Nasution
Hal itu dilakukan karena pada masa rezim New Order atau Orde Baru itu, banyak sekali sejarah-sejarah yang tak boleh dipublikasikan, ditulis ulang, dibengkokkan, lalu di propagandakan melalui media-media zombie yang pada masa lalu, bagai ‘media peliharaan’.
Suharto, sebagai komandan Abri saat memimpin pasukan untuk memerangi G-30/S-PKI
Suharto, sebagai komandan Abri saat memimpin pasukan untuk memerangi G-30/S-PKI
Suharto, presiden diktator era ‘Orde Baru’ (New Order) yang berkuasa selama 32 tahun, yang selalu menang dalam pemilu sebanyak 6 kali berturut-turut alias hat trick dua kali oleh pemilihan presiden secara tak langsung (dipilih oleh DPR/MPR), lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921.
Ia lahir dari keluarga petani yang menganut Kejawen. Keyakinan keluarganya ini kelak terus dipeliharanya hingga hari tua. Karir Suharto diawali sebagai karyawan di sebuah bank pedesaan, walau tidak lama.
Dia sempat juga menjadi buruh dan kemudian menempuh karir militer pertama kali sebagai prajurit KNIL yang berada di bawah kesatuan tentara penjajah Belanda. KNIL adalah singkatan dari bahasa Belanda; het Koninklijke Nederlands(ch)- Indische Leger, atau secara harafiah: Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Saat Jepang masuk di tahun 1942, Suharto bergabung dengan PETA, yaitu singakatan dari tentara sukarela Pembela Tanah Air (kyōdo bōei giyūgun?) adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang.
Ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat atau biasa disingkat dengan TKR, adalah sebuah nama angkatan perang pertama yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
TKR dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 berdasarkan maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. TKR dibentuk dari hasil peningkatan fungsi Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sudah ada sebelumnya dan tentara intinya diambil dari bekas PETA.
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949
Illuminati Card Game Agenda - Rewriting History
Illuminati Card Game Agenda – Rewriting History
Salah satu ‘prestasi’ kemiliteran Suharto yang sering digembar-gemborkannya semasa dia berkuasa adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta.
Bahkan ‘prestasi’ ini sengaja difilmkan dengan judul ‘Janur Kuning’ pada tahun 1979, yang memperlihatkan jika serangan umum itu diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Letkol Suharto.
Padahal, sesungguhnya serangan umum itu diprakarsai oleh Sultan Hamengkubuwono IX.
Sultan Hamengkubuwono IX lah yang memimpin serangan umum melawan Belanda, bukan Soeharto.
Hamengkubuwono IX adalah seorang nasionalis yang memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya, karena itu ia tidak mau untuk di jajah. Kedepannya, Sultan Hamengkubuwono IX menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia.
Nasution Pecat Suharto Secara Tak Hormat Dari Pangdam Diponegoro
Pada 1959, Suharto yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Jenderal Abdul Haris Nasution dengan tidak hormat, karena Suharto telah menggunakan institusi militernya untuk mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah.
Suharto kala itu juga ketahuan ikut kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula dan kapuk bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong. Untuk memperlancar penyelundupan ini, didirikan perusahaan perkapalan yang dikendalikan Bob Hasan.
Konon, dalam menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal ‘Indonesian Overseas’ milik C.M. Chow. Mungkin, sejarah nyata pemecatan dengan tidak hormat inilah yang bisa jadi mirip “kutukan” jika suatu saat dinastinya masuk kembali ke dalam kemiliteran, akan dipecat dengan tidak hormat pula.
Suharto, Berkomplot Dengan Agen Ganda Jepang – Cina
Siapa C.M. Chow ini? Dia adalah ‘agen ganda’ atau double agent. Pada tahun 1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang yang bertugas di Shanghai, Cina. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao Tse Tung atau dikenal pula sebagai Mao Zedong, adalah seorang tokoh filsuf dan pendiri negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Mao Tse Tung atau Mao Zedong, adalah salah satu tokoh terpenting dalam sejarah modern Tiongkok. Kala itu C.M. Chow merupakan kepanjangan tangan Mao dalam merekrut Cina perantauan dari orang Jepang, ke dalam jaringan komunis Asia.
Mao Tse Tung / Mao Zedong
Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke Jakarta. Ketika Jepang hengkang dari Indonesia, Chow tetap di Jakarta dan membuka usaha perkapalan pertama di negeri ini.
Chow bukan saja membina warga negara Cina di Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi.
Salah satu binaannya adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan. Tan merupakan ‘sleeping agent’ Mao di Indonesia Timur.
Kemudian pada pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja dan Liem Sioe Liong mendirikan sejumlah pabrik di Fujian, Cina. (dari: Siapa Sebenarnya Suharto; Eros Djarot; 2006).
Jenderal A.H. Nasution yang akrab disapa “Pak Nas”, pada kala itu sangat marah sehingga ingin memecat Suharto dari Angkatan Darat dan menyeretnya ke Mahkamah Militer, namun atas desakan Gatot Subroto, Suharto dibebaskan dan akhirnya dikirim ke SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat).
Ahmad Yani Juga Marah Kepada Suharto
Selain Nasution, Yani juga marah atas ulah Suharto dan di kemudian hari mencoret nama Suharto dari daftar peserta pelatihan di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), yang mana hal ini membuat Suharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih Amad Yani adalah anak kesayangan Bung Karno.
Ahmad Yani
Kemudian, Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat sebagai Pangdam Diponegoro menggantikan Suharto.
Pranoto, sang perwira ‘santri’, menarik kembali semua fasilitas milik Kodam Diponegoro yang dipinjamkan Suharto kepada para pengusaha Cina untuk kepentingan pribadinya.
Suharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga terhadap Nasution dan Yani.
Lalu di sekolah SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), Suharto dicalonkan untuk menjadi Ketua Senat.
Namun D.I. Panjaitan menolak keras dengan menyatakan dirinya tidak percaya dengan Suharto yang dinilainya tidak bisa dipercaya karena mempunyai banyak catatan kotor dalam karir militernya, antara lain penyelundupan bersama para pengusaha Cina dengan dalih untuk membangun kesatuannya, namun yang terjadi adalah untuk memperkaya dirinya.
Suharto Marah Dan Dendam Kepada Para Jenderal
Atas kejadian itu maka Harto, panggilan Suharto, yang berarti Harta, sangat marah. Bertambah lagi dendam Suharto, selain kepada Nasution, Yani, Pranoto, dan kini kepada D.I. Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965, musuh-musuh Suharto terutama Nasution, Yani, dan Panjaitan, menjadi target pembunuhan, sedangkan Suharto sendiri yang merupakan orang kedua di Angkatan Darat ini, tidak masuk dalam daftar kematian.
Setelah Ahmad Yani terbunuh pada peristiwa 30 September 1965, Bung Karno mengangkat Pranoto Rekso Samudro sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), namun Pranoto dijegal oleh Suharto sehingga Suharto-lah yang justru mengambil-alih kepemimpinan Angkatan Darat, dan untuk menghindari pertumpahan darah oleh kemungkinan perang saudara, maka Soekarno melantik Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965.
Perang saudara yang diyakini akan terjadi itu, karena Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO (kini Marinir) di Jawa Timur, telah bersumpah untuk selalu berada di belakang Soekarno. Dan, jika Soekarno memerintahkan untuk ‘menyapu’ kekuatan Suharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap juga untuk berperang.
Itulah yang akhirnya dihindari oleh Soekarno, agar Angkatan Darat tidak pecah dan justru dapat membuat Indonesia yang baru merdeka ini, dapat kembali pecah oleh kekuasaan dan harta yang hanya dapat dinikmati di dunia yang sementara ini.
Kronologi Soeharto dendam Pranoto bongkar kasus korupsinya di Jawa Tengah
Pranoto Reksosamodra sejatinya teman karib Soeharto. Saat Jepang membuka pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), kedua pemuda tersebut terpanggil untuk mendaftar. Pranoto dan Soeharto sama-sama lulus dengan hasil memuaskan sebagai kompandan peleton.
Sebentar bertugas, keduanya dipanggil mengikuti pendidikan lanjutan sebagai komandan kompi di Bogor. Karir Pranoto dan Soeharto juga maju beriringan. Tahun 1948, Letkol Pranoto diangkat menjadi Komandan Brigade IX/Divisi III/Diponegoro di Muntilan, sementara Letkol Soeharto menjadi Komandan Brigade X di Yogyakarta.
Saat Soeharto sebagai komandan serangan Umum 1 Maret, Pranoto dan pasukannya kebagian tugas menyerang Yogyakarta dari Utara lewat Kali Code. Kolonel Pranoto juga yang menggantikan Kolonel Soeharto menjadi Panglima Tentara & Teritorium IV/Diponegoro. Pada saat itu Panglima menjabat penguasa perang daerah (Paperda).
Di sinilah hubungan kedua perwira Angkatan Darat ini memburuk. Penyebabnya saat tim pemberantasan korupsi Angkatan Darat turun ke daerah-daerah menyelidiki dugaan korupsi para panglima. Tim ini diketuai oleh Brigjen Soengkono.
Mayor_Jenderal_Pranoto_ReksosamodraKolonel Pranoto menuliskan peristiwa ini dalam catatan pribadinya. Buku catatan ini kemudian disunting Imelda Bachtiar dan diterbitkan Kompas tahun 2014 dengan judul Catatan Jenderal Pranoto dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya. Pranoto mengaku memberikan fasilitas dan keleluasaan untuk tim audit tersebut selama bergerak di wilayah militernya.
Tim ini menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Kolonel Soeharto saat menjabat Panglima di Jawa Tengah. Antara lain barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan pabrik rokok kretek Jawa Tengah. Ada juga penjualan besi tua yang disponsori sejumlah pengusaha Tionghoa seperti Lim Sioe Liong.
Brigjen Soengkono melaporkan hal ini pada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution yang. Soeharto sempat malu dan berniat mengundurkan diri karena kasus ini. Namun Nasution menolaknya. Nasution pula yang kemudian menyelesaikan kasus ini. Soeharto akan diberi sanksi administrasi sedangkan Pranoto diperintahkan menertibkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Jawa Tengah.
Masalah rupanya belum selesai. Soeharto sudah menaruh dendam pada Pranoto. Dia termakan kasak kusuk yang menyebut Pranotolah yang meminta tim Angkatan Darat menyelidiki masalah ini. Wakil Kasad Letjen Gatot Soebroto memanggil kedua anak buahnya ini. Dia meminta keduanya berbaikan. Namun Soeharto sempat menolak.
“Bagaimanapun aku merasa dipermalukan dan dicoreng-moreng oleh sebab perbuatannya,” kata Soeharto. Pranoto membela diri. “Demi Allah, laporan-laporan itu bukanlah aku yang melakukan dan aku pun tak perlu menuduh dari mana ataupun dari siapa laporan itu dibuat. Hal itu tidak benar dan kalau perlu kolonel dapat menuntutnya.”
Letjen Gatot Subroto menyela perdebatan itu dengan gayanya yang kebapakan. Dia meminta Pranoto dan Soeharto berdamai.
“Kalian seperti anak kecil. Di hadapanku jangan pada bertengkar. Sudah bubar. Ayo pada salaman,” kata Gatot.
“Kami terpaksa bersalaman. Betapapun di hati masing-masing terasa hambar,” kenang Pranoto melukiskan peristiwa tahun 1960 itu.
Persahabatan dua perwira TNI ini pun berakhir
Kelak setelah G30S meletus, Mayor Jenderal Soeharto menahan Mayjen Pranoto dengan tuduhan terlibat aksi militer G30S yang didalangi PKI. Tanpa pengadilan, Pranoto menjalani penahanan selama 15 tahun.
Sejumlah pihak menyangka dendam Soeharto yang melatarbelakangi penangkapan tersebut. Namun rupanya Pranoto tak mau berburuk sangka.
“Dari catatan Pak Pran, beliau juga tidak tahu apakah karena masalah itu atau yang lain. Karena itu Pak Pran selalu berharap ada pengadilan sehingga bisa menjawab semua tuduhan. Tapi pengadilan tersebut tak pernah ada,” kata Imelda Bachtiar saat berbincang dengan merdeka.com.
Sejarawan Asvi Warman Adam menilai cara-cara Soeharto menggandeng konglomerat dan mendirikan aneka yayasan terus dipertahankan saat dia menjadi presiden RI. Sama dengan di Jawa Tengah dulu, yayasan yang didirikan Soeharto selalu diklaim untuk mensejahterakan anggota TNI atau masyarakat. Namun tentunya Soeharto dan koleganya pun dapat keuntungan.
“Menarik apa yang disampaikan dalam biografi Liem Sioe Liong. Apa yang dia peroleh dari monopoli. Di sisi lain jika Soeharto butuh, dia tinggal minta dana ke Liem. Ini mutualisme,” kata Asvi.
Lamanya Masa Orde BAru Membuat Rakyat Indonesia Dicuci Otak Dan Tak Mengenal Sejarah Asli Bangsanya
Ironisnya, banyak manusia Indonesia selalu lupa akan sejarah asli bangsanya. Tapi lebih ironisnya lagi, banyak ‘anak-anak singkong’ yang buta sejarah pada masa kini, terhasut oleh dongeng pencuci otak era rezim New (World) Order itu.
Semua itu terjadi karena mungkin mereka tak mengalaminya, namun justru percaya hanya mendengar dari “katanya dan ceritanya”. Seharusnya pemuda masa kini membaca buku yang berasal dari pemuda dimasa lalu agar menjadi pemuda yang paham sejarah, bukan hanya mendengar dari media masa kini, yang akhirnya hanya paham apa itu selfie atau jago BBM yang tak penting.
Selalu ada saksi dalam setiap sejarah. Sejarah adalah pembelajaran, dan Soekarno telah selalu mengingatkan kepada segenap rakyatnya, termasuk Soeharto, secara berkali-kali, “Jas merah, jangan selalu melupakan sejarah” tegas Soekarno. Namun, apa yang justru dilakukan oleh Soeharto?
Kabinet terakhir yang ia buat sebelum lengser telah memasukkan anaknya, Tutut sebagai menteri sosial dan Bob Hasan saudara angkatnya sang kartel kayu, pembabat hutan dan illegal logging, justru menjadi menteri kehutanan, yang di era reformasi ia sempat merasakan bui.
Rakyat mulai tak suka dengan cara kapitalis dan imperialisme yang diterapkan Soeharto, itu semua adalah sistim dajjal penindas rakyat ditiap negara. Rakyat yang sudah susah, semakin susah, semakin miskin, terbelenggu, apalagi tak ada kebebasan sama sakali. Mereka buta politik, buta informasi di Era Orde Baru itu.
Namun ratusan juta manusia itu tak berani, takut, tak berkutik dan tak bisa apa-apa. Maka, mahasiswa pun yang akhirnya bergerak dan menghasilkan gerakan perubahan, Reformasi, dengan rakyat se-Indonesia yang selalu siap dibelakang mereka. Mahasiswa dari Sabang hingga Merauke pun berdatangan ke Jakarta melalui perwakilan-perwakilannya untuk menduduki gedung MPR/DPR di Jakarta.
Memang terbukti, mahasiswa kala itu tak butuh uang atau materi, mereka hanya butuh moral kebangsaan dan dukungan dari segenap rakyat. Tak butuh suatu kepentingan apapun kecuali Perubahan untuk bangsa ini, tak ada nama dan tokoh dikala itu.
Amien Rais yang dinobatkan menjadi reformis saja tiada mahasiswa yang tahu dikala itu, namun tak peduli, yang penting ada perubahan kedepan untuk rakyat kedepannya, padahal politikus yang ikut berorasi tak ia saja, banyak yang jauh lebih murni, bukan sekedar carmuk alias cari muka.
Seluruh masyarakat Jakarta hingga luar Jakarta, mereka berbondong-bondong mengumpulkan makanan dan minuman ke dalam Gedung MPR/DPR hanya untuk mahasiswa yang membela hak rakyat. Terlihat dari anak kecil hingga tua renta membawa pisang dari kampungnya, walaupun satu tandan tapi berat, rela jalan membongkok ke gedung di Senayan itu.
Terasa bersatunya bangsa ini saat itu. Tak ada lagi perbedaan diantara mereka, isyu perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan, dikubur dalam-dalam. Begitu bersatunya Indonesia, saat Reformasi 98.
Tapi akhirnya, mereka disusupi oleh ‘pasukan iblis’ dengan mengadu domba diantara mereka, antara sesama anak bangsanya sendiri. Isyu yang kental, adalah isyu pemecah belah antara pribumi dan Cina, atau antar Islam dan Kristen, maka terjadilah Kerusuhan 98.
Hal ini sudah tercium, adalah pola atau modus yang biasa diterapkan oleh kaum satanic illuminatis dunia, bahkan hingga saat ini. Nyaris semua kekacauan, kerusuhan dan peperangan di dunia, dipicu dari ‘sel-sel’ alias kaki-tangan atau budak yang sengaja dibuat untuk memperlancar tujuan dari sistim mereka.
Walau begitu, semua sudah terlambat. Selama 32 tahun, atau lebih dari 3 dekade, cara cuci-otak sistim dajjal ini berhasil. Artinya walaupun suatu saat Soeharto dengan New Ordenya lengser, namun cara dan pola pikir manusia Indonesia akan terpatri terus dan terus dan terus, hingga beberapa generasi mendatang.
Tak diajarkan untuk patuh pada aturan dan undang-undang kecuali untuk kepentingan kelompoknya, miskinnya kedisiplinan dan tanggungjawab, tak adanya inisiatif dan kesadaran pada rakyatnya yang bermental rendah akan melahirkan generasi dengan mental tambah parah, begitulah seterusnya, membuat Indonesia harus diganti masyarakatnya bukan presidennya.
Pada era Orde Baru itu, rakyat Indonesia justru diajarkan oleh maraknya korupsi, gilanya kolusi, sintingnya nepotisme untuk kelompok dan kerabatnya.
Semua anggota dewan hanya manggut-manggut kepada presiden, apapun keputusannya mereka kompak dengan menyetujuinya. “Apakah setuju?” ucap ketua MPR, Sontak semuanya yang sudah tertidur dibangku masing-masing pasti teriak “Tetuju..!” tanpa ada interupsi satupun. Maka kocek mereka pun langsung menebal tanpa ada basa-basi, dan terbukti hingga kini pola sinting sistim dajjal itu masih terbentuk dan dipertahankan oleh kaum penganut satan ini.
kartun suharto 01Hal itu bisa terjadi karena efek dari brainwashed dengan memutar balikkan sejarah dan menganggap Soeharto adalah bagai super hero.
Mirip Korea Utara, dimana hingga kini rakyatnya merasa ‘nyaman’ saja dengan hidupnya yang sederhana, tanpa ponsel, tanpa internet, miskin pun tak terasa, tak tahu dunia luar, ada apa diluar sana?
Tiada yang tahu kecuali segelintir rakyat yang telah memakai tv satelit ber-parabola. Persis pola politik dan kediktatoran pada masa Orde Baru.
Jadi jangan beranggapan bahwa New Order telah musnah dari bumi Indonseia dan dari masyarakat Indonesia, namun ia ibarat “api dalam sekam” yang suatu saat akan membara, bangkit dan berkuasa kambali. Akankah sistim ini kembali lagi? Kita lihat saja, berapa persen yang sudah kena cuci-otak, berapa persen yang telah pintar membaca geo-politik dunia, termasuk geo-politik Indonesia.
Soeharto, the smiling General sang ahli strategi dan ahli pemutar-balikkan sejarah, ini adalah fakta dan kenyataan. Maka telanlah walau itu pahit. Soeharto, jenderal yang ‘mbalelo’ pada atasan, jenderal tatanan dunia baru satu komando, kaki tangan ‘the New World Order’ , yang pernah menerapkan sistim dajjal besutan illuminati di Bumi Pertiwi, selama 32 tahun lamanya.
Pada tahun 2000 lalu, mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia di era tahun 1960-an, Soebandrio, menerbitkan memoar berjudul Kesaksianku Tentang G30S.
Buku memoar tersebut adalah bentuk pembelaan Subandrio terhadap tudingan sepihak yang dialamatkan kepada dirinya: terlibat G30S. Tudingan itu sungguh pahit. Tidak hanya karena Subandrio harus mendekam di penjara selama 30 tahun, tetapi juga harus memikul aib sebagai penghianat bangsa.
Namun, melalui memoarnya tersebut, Subandrio melancarkan serangan balik ke Soeharto. Ia menuding Soeharto justru telah melakukan kudeta merangkak terhadap kekuasaan Soekarno. Tak hanya itu, buku setebal 80 halaman itu juga membeberkan cacat Soeharto.
Menurut Soebandrio, Soeharto punya rekam jejak yang buruk jauh sebelum peristiwa G30S. Yang pertama, semasa di divisi Diponegoro, Soeharto menjalin relasi dengan pengusaha tionghoa, Liem Sioe Liong. Keduanya menjalankan bisnis penyelundupan berbagai barang.
Saat itu, kata Soebandrio, Soeharto berdalih bahwa bisnis penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. “Berita penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya,” ujar Soebandrio.
Belakangan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan Kodam Diponegoro, melainkan untuk kepentingan pribadi Soeharto dan Liem. “Duitnya masuk ke kantong Soeharto dan Liem,” kata Soebandrio.
Kabar itu berhembus kemana-mana. Kata Soebandrio, ketika berita itu mencuat, Jenderal Ahmad Yani sangat marah. Sampai-sampai, dalam suatu kejadian, Yani menempeleng Soeharto. Soeharto dianggap mempermalukan korps Angkatan Darat (AD).
Tak hanya itu, Jenderal AH Nasution mengusulkan agar Soeharto diadili di Mahkamah Militer dan dipecat dari AD. Namun, usulan itu dimentahkan oleh Mayjend Gatot Subroto. Alasannya, Soeharto masih bisa dibina. Akhirnya, Soeharto pun disekolah di Seskoad di Bandung.
Cerita tentang Soeharto sebagai penyelundup ini bukan barang baru. Harold Crouch dalam The Army and Politics In Indonesia juga menyinggung hal tersebut. Menurut Crouch, Soeharto dicopot tahun 1959 karena keterlibatannya dalam penyelelundupan. Robert E Elson, yang menulis buku Suharto, A Political Biography (2001), juga menyinggung bisnis ilegal Soeharto tersebut.
Yang Kedua, Soeharto membangun klik di dalam tubuh Angkatan Darah (AD) saat itu. Soebandrio menyebutnya Trio Soeharto-Yoga-Ali. Awalnya, pada tahun 1959, Soeharto tiba-tiba memanggil pulang Yoga Soegama, yang saat itu masih menjabat sebagai Dubes Indonesia di Yugoslavia. Saat itu, Soeharto memanggilan Yoga untuk diberi jabatan baru: Kepala Intelijen Kostrad.
Bagi Soebandrio, pemanggilan Yoga oleh Soeharto itu bermasalah. Pertama, pemanggilan Yoga itu diluar aturan formal alias menabrak aturan. Semestinya, kata Soebandrio, yang punya otoritas memanggil Yoga itu adalah Ahmad Yani selalu Menteri/Panglima AD (Menpangad). Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah untuk mensabotase politik Bung Karno. Ketiga, untuk menghancurkan PKI.
Menurut Soebandrio, komplotan trio Soeharto-Yoga-Ali ini sudah berlangsung erat semasa di Kodam Diponegoro. Bahkan, Soeharto pernah menggunakan komplotannya ini untuk mensabotase rencana pengangkatan Kolonel Bambang Supeno sebagai Panglima Kodam Diponegoro.
Saat itu, pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang Supeno sebagai Pangdam Diponegoro. Kabar itu tercium oleh Soeharto, yang saat itu masih berpangkat Letkol tetapi ‘ngebet’ sekali jadi Pangdam. Untuk meraih cita-citanya, Soeharto menggelar rapat gelap dengan sejumlah perwira di Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Yoga Soegama, yang notabene komplotan Soeharto.
Ketiga, Soebandrio juga menyingkap keterlibatan Soeharto dalam percobaan kudeta yang dirancang Tan Malaka untuk menggulingkan Kabinet Sjahrir pada tanggal 3 Juli 1946. Awalnya, kata Soebandrio, kelompok Tan Malaka mengajak semua kalangan militer di Jawa Tengah, termasuk Soeharto, dalam gerakan tersebut.
Pada tanggal 20 Juni 1946 (?), Perdana Menteri Sjahrir diculik oleh kelompok Soedarsono. “Soeharto selaku salah seorang komandan militer Surakarta terlibat dalam penculikan itu,” ujar Soebandrio.
Tanggal 2 Juli 1946, dua batalyon pasukan penculik berkumpul di markas Soeharto. Pasukan itu kemudian dikerahkan untuk menguasai aset strategis, seperti RRI dan Telkom. “Malam itu juga mereka menyusun surat pembubaran Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya ditandatangani oleh Presiden Soekarno esok harinya,” ungkap Soebandrio.
Tetapi percobaan kudeta itu gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Pada saat itulah Soeharto berbalik arah, dari awalnya berkomplot dengan penculik kemudian menangkapi para penculik.
Namun, cerita tentang kelicikan Soeharto dalam peristiwa percobaan kudeta tanggal 3 Juli 1946 itu bukan cerita baru. M Yuanda Zara dalam bukunya Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia juga mengungkap kelicikan Soeharto itu.
Menurut Yuanda, Soeharto sebetulnya terlibat dalam pembebasan tahanan pro-kudeta di penjara Wirogunan. Ia kemudian membawa tanahan itu ke markasnya, di Wiyoro, di mana Soedarsono sudah menunggunya.
Di malam itu juga, kata Yuanda, Mohammad Yamin Cs membuat konsep maklumat kepada Presiden Soekarno, yang isinya seolah-olah penyerahan kekausaan kepada Tan Malaka. Pembuatan konsep maklumat itu dilakukan di markas Soeharto.
Rencananya, maklumat itu akan dibawa oleh Soedarsono esok paginya, 3 Juli 1946, ke Presiden Soekarno. Dengan liciknya, Soeharto membocorkan info ini ke pihak Istana dan sekaligus memberitahu rencana Soedarsono ke Istana. Alhasil, pada tanggal 3 Juli 1946, ketika Soedarsono ke Istana Presiden, ia dengan gampang dilucuti oleh pasukan pengawal Presiden.
Padahal, sebelumnya Bung Karno pernah memerintahkan Soeharto melalui pesan yang dibawa oleh Sundjojo, Ketua Pemuda Pathuk, untuk menangkap atasannya, Mayor Jenderal Sudarsono, karena dicurigai ingin merebut kekuasaan. Tetapi Soeharto menolak perintah Presiden Soekarno tersebut. Sampai-sampai Soekarno marah dan menyebut Soekarno sebagai “Opsir koppig” (opsir yang keras kepala).
Kejadian ini memperlihatkan kepada kita, betapa lihainya Soeharto dalam membaca situasi, mengambil keuntungan di dalamnya, dan secara licik tampil sebagai pahlawan. Yuanda menyebut ini strategi nglurug tanpa bala, menyerbu tanpa pasukan, tetapi memakai tangan orang lain untuk kepentingannya.
Pembaca boleh tidak setuju dengan pendapat Soebandrio ataupun ulasan saya di atas. Namun, seiring dengan dibukanya dokumen dan arsip mengenai peristiwa G30S 1965, ada baiknya membaca kembali peristiwa tersebut secara kritis. Termasuk mempertanyakan kembali keabsahan Soeharto sebagai pahlawan dibalik cerita tersebut.
Citra Baik Kisah Heroik Dari Kepemimpinan Jendral Soeharto dalam Membangun Bangsa Indonesia
Sosok Suharto belakangan diimpikan sebagian masyarakat Indonesia ketika kondisi ekonomi dinilai tidak membaik dan cita-cita reformasi dianggap tidak sesuai harapan.
Tidak ada yang tahu secara pasti sejak kapan kaos dan sticker bergambar Suharto mulai meramaikan lapak-lapak milik pedagang di kawasan Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sesuatu yang sebenarnya tidak terbayang akan terjadi pada tahun 1998 atau sesaat setelah dia mengundurkan diri dan sempat dikucilkan.
Sejumlah pedagang yang berada di Malioboro memperkirakan kaos bergambar Suharto mulai marak diperdagangkan sekitar bulan Juni lalu.
Motif kaos bergambar Suharto yang ditawarkan beragam mulai dari Suharto dengan pakaian militer kebesarannya hingga sosok Suharto yang tengah mengenakan pakaian safari sambil melambaikan tangannya.
Rata-rata kaos yang dijual seharga Rp30.000 itu memiliki tulisan dalam bahasa Jawa, “Piye kabare bro? Penak jamanku tho..” yang artinya kurang lebih adalah “bagaimana kabarnya bro? masih lebih enak di jaman saya kan.”
Sejumlah pedagang yang ditemui mengaku menjual kaos bergambar Suharto karena alasan ekonomi dan bukan politis.
“Saya jual kaos ini soalnya laku, juga banyak peminatnya, sehari saya bisa jual 20 kaos,” kata pedagang kaos di Malioboro, Adi Narto.
“Saya pernah dapat pesanan 40 kaos dengan gambar sama, biasanya yang laris kaos bergambar Suharto yang melambaikan tangan dan ada tulisan ‘piye kabare enak jamanku tho,’ ” kata pedagang lainnya, Supriyanto.
Memperbaiki citra Suharto
Terus terang aja ini untuk mengembalikan nama baik Pak Harto, apa betul Pak Harto seperti dituduhkan dia suka menumpuk banyak kekayaan, sadis , terlibat pembunuhan. Kan yang melakukan pembunuhan itu pembantunya bukan Pak Harto
Probosutedjo
Selain kaos dan sticker bergambar Suharto yang banyak dibeli, Museum Memorial Jenderal Besar H.M Suharto juga ramai dikunjungi orang.
Museum yang terletak di Kemusuk, Bantul, Yogyakarta ini baru berdiri pada 8 Juni lalu.
Pada akhr pekan pertama di bulan November lalu, museum itu ramai dikunjungi orang yang umumnya datang secara rombongan.
Pengelola mengatakan pengunjung bisa memasuki kawasan museum tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun.
“Kami berharap untuk anak-anak pelajar kita supaya mereka tahu bahwa di desa Kemusuk pernah lahir seorang anak desa bernama Suharto dan beliau bisa berkiprah dalam membangun bangsa dan negara bahkan karena kiprah beliau memimpin selama 32 tahun ,beliau mendapat sebutan bapak pembangunan nasional,” kata Humas Museum Suharto, Gatot Nugroho.
Sementara pengagas dan pendiri museum itu, Probosutedjo mengatakan pendirian museum merupakan bagian dari apa yang disebutnya sebagai upaya untuk mengembalikan nama baik Suharto.
“Terus terang aja ini untuk mengembalikan nama baik Pak Harto, apa betul Pak Harto seperti dituduhkan dia suka menumpuk banyak kekayaan, sadis , terlibat pembunuhan. Kan yang melakukan pembunuhan itu pembantunya bukan Pak Harto,” kata Probosutedjo.
“Tapi memang tujuannya untuk mencapai tujuan yang sebenarnya yaitu supaya bisa membangun dan tidak diganggu terus nanti pembangunankan rusak. Seperti kita lihat sekarang demonstrasi dimana-mana jadi karena demontarsi tidak menentu pembangunan tidak jalan.”
Pengelola museum mengklaim pengunjung yang datang ke museum telah mencapai lebih dari 93 ribu orang sejak berdiri bulan Juni lalu.
Image caption Museum Suharto menampilkan sejumlah foto keluarga Presiden Suharto dan kegaiatannya.
“Saya ingin mengajarkan kepada anak saya sejarah tentang Suharto, biar bisa membedakan zaman Pak Harto dengan zaman sekarang, kalau menurut saya enak zaman Suharto karena sekarang banyak kerusuhan,” kata Sri Murti, pengunjung asal Tempel, Sleman yang membawa dua anaknya mengunjungi Suharto.
Pengunjung lainnya mengatakan mereka ditugasi oleh sekolahnya untuk mengetahui sejarah tentang Suharto.
“Saya datang ke sini karena diminta guru di sekolah mempelajarai sejarah soal Suharto,” kata Junianto salah satu pelajar yang datang ke museum itu.
Kerinduan sesaat
Museum Memorial Jenderal Besar H.M Suharto banyak menghadirkan cerita dan diorama yang menggambarkan keberhasilan Suharto mulai dari perannya pada peristiwa tiga puluh September, Operasi Trikora di Irian Jaya hingga keberhasilan di masa pembangunan lima tahunan.
Namun anda tidak akan menemukan catatan kritis seputar Suharto saat dia masih berkuasa.
Saya kira mereka mencoba untuk membalik lembaran sejarah bahwa Soeharto atau keluarganya dan rezim Soeharto tidak ditulis dalam catatan noda yang kelam dalam sejarah Indonesia, paling tidak itu yang mereka inginkan
Najib Azca
Bagaimana dia memperlakukan orang-orang yang dituduh sebagai antek komunis atau penjelasan seputar kasus penculikan sejumlah aktivis menjelang Suharto lengser.
Cerita seputar penghentian penyelidikan terkait sejumlah kasus yang dituduhkan kepada Suharto juga tidak akan temui di tempat ini.
Sosiolog UGM, Muhammad Najib Azca mengatakan kerinduan orang terhadap Suharto sebagai pemimpin yang pernah dinilai gagal bukanlah hal aneh jika dilihat dalam konteks kondisi Indonesia yang sedang berada dalam masa transisi.
“Saya kira itu bukan sepenuhnya fenomena yang ganjil, fenomena seperti itu acap terjadi dalam negara yang sedang mengalami fase transisi dimana pada satu titik tertentu ada kejenuhan dimana proses demokratisasi yang berlangsung menemui kegagalan-kegagalan dan orang menengok ke masa lalu,” jelas Najib.
“Dan pada saat itu orang melihat figur pada masa lampau yang pernah menyediakan ketertiban dan kesejahteraan.”
Najib menganalisa kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh elit politik yang menjadi pendukung Suharto untuk kembali mengangkat namanya.
“Saya kira mereka mencoba untuk membalik lembaran sejarah bahwa Suharto atau keluarganya dan rezim Suharto tidak ditulis dalam catatan noda yang kelam dalam sejarah Indonesia, paling tidak itu yang mereka inginkan, “ tambah Najib.
Najib memperkirakan kondisi yang terjadi belakangan ini merupakan upaya yang dilakukan oleh orang-orang dekat Suharto untuk membersihkan nama Suharto dalam sejarah.
“Saya memang tidak melihat ini sebagai ancaman yang gawat, tetapi mereka paling tidak ingin membalikkan sejarah bahwa Suharto atau keluarga Suharto tidak tertulis dengan catata noda yang kelam dalam sejarah Indonesia,” kata Najib.
Suara korban Suharto
Sejumlah orang yang pernah menjadi korban dari kebijakan keamanan era Suharto menilai munculnya kerinduan orang terhadap Suharto harus direspon dengan perbaikan kebijakan dan sikap presiden dalam menangani sejumlah isu ekonomi dan politik.
Saya diculik oleh intel militer dan dibawa ke sebuah lembaga intelijen selama enam hari, saya disiksa, tidak hanya dipukuli tapi juga disetrum, disundut rokok dan berbagai tindakan tidak manusiawi
Hendrik Sirait
“Sebenarnya ini menyangkut kepemimpinan. Saat ini kita sudah masuk era demokratisasi. Tidak perlu harus surut kembali. ,“ kata AM Fatwa yang pernah dipenjara semasa pemerintahan Suharto.
Fatwa pernah dikenai pasal subversif dan divonis hukuman 18 tahun penjara karena dituduh terlibat dalam peristiwa kekerasan Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang menewaskan sembilan orang.
“Ini lebih masalah kepemimpinan yang tidak berwibawa dan tidak tegas. Ini yang disuarakan masyarakat. Kita kehilangan seorang pemimpin.”
Sementara korban kekerasan rezim Orde Baru lainnya, Hendrik Sirait mengatakan kecenderungan orang menengok ke masa Suharto karena kegagalan penuntasan sejumlah agenda reformasi.
“Saya melihatnya itu sebenarnya manifestasi protes terhadap situasi saat ini, yang menilai bahwa pemerintahan saat ini tidak jauh lebih baik dari orde baru bahkan dari sisi kesejahteraan sebagian kecil masyarakat menilai masa orde baru lebih baik,” kata Hendrik.
“Meskipun itu tentu saja keliru karena korupsi di masa orde baru sangat marak dan sampai sekarang KKN Suharto dan kroninya juga tidak dituntaskan.”
Sisi gelap
Hendrik yang pernah menjadi korban penculikan pada 1 Agustus 1996 karena aktifitasnya mendukung tokoh oposisi saat itu, Megawati Soekarnoputri, juga mengingatkan orang agar tidak lupa pada kebijakan keras Suharto terhadap lawan politiknya.
“Saat itu sangat represif dan tidak ada keterbukaan di seluruh sektor kehidupan masyarakat, dia melakukan itu untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.”
Image caption Baju bergambar Suharto marak diperjualbelikan di kawasan Malioboro Yogyakarta.
Hendrik yang terlibat dalam sejumlah aksi unjuk rasa mengritisi kebijakan Suharto sempat diculik dan mengalami penyiksaan oleh aparat keamanan dibawah pemerintahan Suharto.
“Saya diculik oleh intel militer dan dibawa ke sebuah lembaga intelijen selama enam hari, saya disiksa, tidak hanya dipukuli tapi juga disetrum, disundut rokok dan berbagai tindakan tidak manusiawi,” kenang Hendrik.
Sampai saat ini sebagai korban dia merasa kasus kekerasan pada masa orde baru belum diselesaikan secara tuntas danm masih menyisahkan lebih banyak pertanyaan dari pada pernytaan.
Lembaran sejarah tentang cerita Suharto dan Orde Baru memang seharusnya tidak dikenang dari satu sisi terangnya saja tanpa melihat catatan gelapnya
Kisah Bung Karno Diusir Soeharto dari Istana
Bung Karno tidak pernah peduli dengan uang atau harta. Ketika turun dari kekuasaan, kita tak pernah tahu bahwa Bung Karno dan keluarganya meninggalkan warisan yang melimpah di Istana Kepresidenan.
Roso Daras menulis dalam bukunya, "Total Bung Karno", saat mendapat surat dari Jenderal Soeharto, bahwa Bung Karno harus meninggalkan Istana Merdeka sebelum 16 Agustus 1967, maka teman-teman Bung Karno yang mengetahui rencana itu segera menawarkan dan menyediakan 6 rumah untuk tempat tinggal dan putera puteri Bung Karno.
Mendengar hal itu Bung Karno seketika marah, bahwa ia tidak menghendaki rumah rumah itu. Ia menginginkan semua anak-anaknya pindah ke rumah Ibu Fatmawati.
"Semua anak-anak kalau meninggalkan Istana tidak boleh membawa apa-apa, kecuali buku-buku pelajaran, perhiasan sendiri dan pakaian sendiri. Barang-barang lain seperti radio, televisi dan lain lain tidak boleh dibawa!"
demikian Bung Karno memerintahkan.
Guntur -putera tertua- setelah mendengar penjelasan itu merasa kecewa, karena ia sudah terlanjur menggulung kabel antena TV yang akhirnya tidak boleh dibawa pergi.
Sementara Ibu Fatmawati mengeluh karena kamar di rumahnya tidak cukup.
Tak berapa lama datang truk dari polisi yang membawa empat tempat tidur dari kayu yang bersusun, dengan kasur dan bantalnya tapi tanpa sprei dan sarung bantal. Juga beras 6 karung.
"Anak-anakku semua disuruh tidur di tempat tidur susun dari kayu, tanpa sprei dan sarung bantal." Konon Ibu Fat, marah-marah kepada utusan yang membawa perlengkapan itu.
Bung Karno keluar dari Istana dengan mengenakan kaos oblong cap cabe dan celana piyama warna krem. Baju piyamanya disampirkan ke pundak, dan ia memakai sandal bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung, berisi bendera pusaka merah putih. Bendera yang dijahit oleh istrinya sendiri, ibu Fatmawati ketika masa proklamasi kemerdekaan dahulu.
Ia meninggalkan Istana dengan mobil VW kodok yang dikendarai seorang sopir asal kepolisian. Salah seorang anggota kawal pribadinya membawakan ovaltine, minuman air jeruk, air teh, air putih, kue-kue serta obat-obatan Bung Karno. Itulah seluruh harta yang dimiliki Bung Karno ketika meninggalkan Istana. Selebihnya ditinggalkan.
Kesederhanaan Bung Karno bisa dilihat dari cerita pengusaha TD Pardede yang dekat dengan Bung Karno. Suatu hari dia dipanggil mendadak ke Jakarta. Mengetahui betapa miskinnya sang Presidennya. Setelah mengobrol-obrol bersama menteri lainnya, Presiden Republik Indonesia itu mengajak TD Pardede ke pojok ruangan.
"Pardede, bisa kau pinjamkan aku uang?"
Gelagapan karena langsung ditodong oleh penguasa negeri, TD Pardede merogoh saku saku jasnya dan memberikan seribu dolar dari kantongnya. Namun, Bung Karno hanya mengambil secukupnya dan mengembalikan sisanya kepada Pardede.
Lain cerita salah satu ajudan terakhir, Putu Sugianitri, seorang bekas polisi wanita yang juga harus pensiun tanpa kejelasan. Suatu saat, setelah tidak menjadi presiden, Bung Karno jalan-jalan keliling kota dan tiba tiba ingin buah rambutan.
"Tri, beli rambutan."
"Uangnya mana?" si polwan asal Bali itu bertanya kembali.
"Sing ngelah pis," kata Bung Karno dalam bahasa Bali yang artinya "Saya tak punya uang."
Jadilah sang ajudan memakai uang pribadinya untuk mantan presiden yang tidak memiliki uang.
Ada juga cerita dari Ali Sadikin. Saat ia menjabat Menko Maritim, ia ditanya oleh Bung karno apakah ia bisa membantu bisnis mertua Bung Karno yang berkaitan dengan perizinan pelabuhan. Setelah dipelajari, Ali mengatakan tidak bisa. Peraturan mengatakan demikian.
"Ya sudah, kalau tidak bisa," kata Bung Karno.
Padahal, sebagai Presiden ia bisa memaksakan memberi perintah. Yang mengagumkan, Bung Karno selanjutnya tidak pernah dendam, bahkan kelak mengangkat Mayor Jenderal KKO Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta.
0 Comments